Mengemudi Bahtera Pernikahan
Di sebalik akad yang satu, ada cinta yang terpatri dalam wilayah yang dihalalkan Ilahi. Ada janji yang dimaterai kukuh. Pernikahan adalah sebuah fenomena yang sudah wujud sejak azali demi menyatukan dua hati. Lalu bahtera pernikahan itupun berlayar meninggalkan zaman bujang di belakang bersama segala suka duka yang dilalui, menuju ke sebuah destinasi cinta abadi.
Suami yang bertanggungjawab memimpin perjalanan bahtera ini, baik ketika air tenang membelai atau gelora datang membantai. Suami yang diberi amanah, dilantik menjadi nakhoda yang harus bertanggungjawab pada segala yang akan dilalui oleh bahtera ini. Di sebalik akad yang satu, ada sebuah peristiwa besar yang bersejarah. Ada jangkaan peristiwa masa depan yang bakal menggugah. Sang suami, harus membawa bahtera ini menuju ke destinasi dengan selamat.
Pernikahan bukan untuk meraikan pemilikan. Kita tidak memiliki pasangan kita kerana kita tak berkuasa menahan dia daripada diambil Ilahi. Ketentuan sang isteri bukan tertulis dalam keputusan sang suami, tetapi dalam ketentuan Ilahi yang tertulis sejak azali. Kita cuma menerima sebuah amanah untuk membawa jiwa kita dan pasangan menuju Allah, tunduk pada segala ketentuan-Nya. Maka, pernikahan adalah sebuah proses pengabdian, mengabdikan diri bersama-sama dalam kerangka meraih redha Ilahi. Itulah dasar yang harus difahami, agar kita tidak tersalah arah dan terpesong daripada tujuan asal. Di akhirat, kita langsung tidak boleh menebus diri dengan pasangan. Masing-masing punya tanggungjawab yang harus dilunaskan.
"Pada hari seseorang itu lari dari saudaranya. Dan ibunya serta bapanya. Dan isterinya serta anak-anaknya. Kerana tiap-tiap seorang dari mereka pada hari itu, ada perkara-perkara yang cukup untuk menjadikannya sibuk dengan hal dirinya sahaja." ('Abasa: 34-37)
"Dan sahabat karib tidak bertanyakan hal sahabat karibnya, (kerana tiap-tiap seorang sibuk memikirkan hal keadaannya sendiri). Padahal masing-masing diberi melihat setengahnya yang lain; (pada saat yang demikian) orang yang kafir suka kiranya dapat menebus dirinya dari azab itu dengan anak-anaknya sendiri. Dan isteri serta saudaranya. Dan kaum kerabatnya yang melindunginya. Dan juga sekalian makhluk yang ada di bumi - kemudian (diharapkannya) tebusan itu dapat menyelamatkannya. Tidak sekali-kali (sebagaimana yang diharapkannya)! Sesungguhnya neraka (yang disediakan baginya) tetap menjulang-julang apinya." (Al-Ma'aarij: 10-15)
Dalam perjalanan bahtera ini, Allah mengirimkan bersama-sama nikmat yang tidak terhingga. Daripada awal, nakhoda bahtera ini harus jelas bahawa ia berlayar untuk menuju ke destinasi. Jika fokus kepada menuju destinasi diabaikan dan yang tinggal adalah menikmati segala bekal-bekal yang ada dalam pelayaran, maka itu bermasalah. Semua bekal berupa kenikmatan itu adalah sebagai keperluan untuk sampai ke destinasi. Menikmati bekal itu bukan tujuan akhir kepada pernikahan. Menikmati keindahan pasangan itu cuma sementara, kerana akan tiba masa tua yang menurunkan ketertarikan fizikal. Letakkan neraca yang benar, agar kita melalui jalan yang benar dan sampai kepada tujuan yang benar.
Pengemudian ini harus dengan ilmu. Ilmu yang tidak hanya tercatat di buku, atau dilantun di bibir semata-mata. Namun ilmu yang menggerakkan amal yang konkrit yang memungkinkan kita sampai kepada tujuan yang satu. Selagi belum melangkah ke alam pernikahan, selagi itu ilmu itu hanya teori yang menjadi sebuah bayangan. Hidupkanlah pernikahan dengan sentiasa menghidupkan budaya menimba ilmu untuk sama-sama diamalkan.
Sakinah (ketenangan), mawaddah (kecintaan) wa rahmah (kasih sayang) itu berpunca daripada Allah. Ia adalah sebuah anugerah. Ketika kita jauh daripada Allah, bagaimana kita dapat merealisasikan ketiga-tiga unsur ini dalam rumahtangga? Kita mungkin dapat meraih ketenangan, kecintaan dan kasih sayang itu sekalipun tanpa sandaran kepada Ilahi, namun ia hanya buat sementara. Asas yang kita letakkan bukan pada pengabdian kepada Allah adalah rapuh. Semua orang bercinta dan berkasih sayang, semua orang mencari ketenangan. Apakah sebenarnya yang membezakan rumahtangga orang-orang beriman dengan rumahtangga orang-orang yang ingkar kepada Allah? Di situlah kita perlu kembali kepada niat pengabdian. Untuk apa ketenangan, kecintaan dan kasih sayang yang dahsyat di atas muka bumi jika di akhirat masing-masing saling menyalahkan dan ditimpa azab yang pedih?
Katakanlah kepada dia yang tertulis untuk menjadi teman pelayaranmu, "Aku mencintaimu kerana Dia, Rabb yang menuliskan engkau untukku, dan aku ingin membawamu bertemu-Nya dalam keadaan kita sama-sama diredhai, dan dimasukkan ke syurga-Nya untuk bercinta selama-lamanya...Ya sayangku, selama-lamanya!"
Wallahua'lam.
Comments
Post a Comment
Apa pandangan anda? Kongsikan bersama pembaca yang lain.