Shollu 'Alan Nabiy

Oleh : K.H.Rahmat Abdullah

Apa yang kita fikirkan tentang seorang laki-laki berperangai amat mulia, yang lahir dan dibesarkan dicelah-celah kematian demi kematian orang-orang yang amat mengasihinya? Lahir dari rahim sejarah, ketika tak seorangpun mampu menguratkan keperibadian selain keperibadiannya sendiri. Ia produk ta’dib Rabbani (didikan Tuhan) yang menentang mentari dalam panasnya dan menggetarkan jutaan bibir dengan sebutan namanya, saat muaddzin mengumandangkan suara adzan.

Di rumahnya tak dijumpai perabot mahal. Ia akan makan di lantai seperti orang biasa, padahal raja-raja dunia iri terhadap kekekehan struktur masyarakat dan kesetiaan pengikutnya. Tak seorang pembantunya pun mengeluh pernah dipukul atau dikejutkan oleh pukulannya terhadap benda-benda rumah.

Dalam kesibukannya ia masih bertandang ke rumah puteri dan menantu tercintanya, Fatimah Azzahra dan Ali bin Abi Thalib. Fathimah merasakan kasih sayangnya tanpa membuatnya jadi manja dan hilang kemandirian. Saat Bani Makhzum memintanya membatalkan hukuman atas jenayah seorang perempuan bangsawan, ia menegaskan;
"Sesungguhnya yang membuat binasa orang-orang sebelum kamu ialah, apabila seorang bangsawan mencuri mereka biarkan dia dan apabila yang mencuri itu seorang jelata mereka tegakkan hukum atasnya. Demi Allah, seandainya Fathimah anak Muhammad mencuri, maka Muhammad tetap akan memotong tangannya."

Hari-harinya penuh kerja dan intaian bahaya. Tapi tak menghalanginya untuk berlomba jalan dengan Humaira (lebih dari satu dua kali), sebutan kesayangan yang ia berikan untuk Aisyah binti Abu Bakar Asshiddiq. Lambang kecintaan, paduan kecerdasan dan pesona diri dijalin dengan hormat dan kasih kepada Asshiddiq, sesuai dengan namanya “si Benar”. Suatu kewajaran yang menakjubkan ketika dalam sibuknya ia masih menyempatkan memerah susu domba atau menambal pakaian yang koyak. Setiap kali para sahabat atau keluarganya memanggil ia menjawab: “Labbaik”. Dialah yang terbaik dengan prestasi besar di luar rumah, namun tetap prima dalam status dan kualitasnya sebagai orang rumah.

Di bawah pimpinannya, lelaki menemukan jati dirinya sebagai lelaki dan pada saat yang sama perempuan mendapatkan kedudukan amat mulia.
"Sebaik-baik kamu ialah yang terbaik terhadap keluarganya dan akulah orang terbaik diantara kamu terhadap keluargaku. Tak akan memuliakan perempuan kecuali seorang mulia dan tak akan menghina perempuan kecuali seorang hina.” 
Demikian pesannya.

Disela 27 kali pertempuran yang digelutinya langsung (ghazwah) atau dipanglimai sahabatnya (sariyah) sebanyak 35 kali, ia masih sempat mengajar Al-Quran, sunnah, hukum, peradilan, kepemimpinan, menerima delegasi asing, mendidik kerumahtanggaan bahkan hubungan yang paling khusus dalam keluarga tanpa kehilangan adab dan wibawa. Padahal, masa antara dua petempuran itu tak lebih dari 1,7 bulan.

Setiap kisah yang dicatat dalam hari-harinya selalu bernilai sejarah. Suatu hari datanglah ke masjid seorang Arab gunung yang belum mengerti adab di masjid. Tiba-tiba ia kencing di lantai masjid yang berbahan pasir. Para sahabat sangat murka dan hampir saja memukulnya. Sabdanya kepada mereka : “Jangan, biarkan ia menyelesaikan hajatnya.” Sang Badui terkagum, ia mengangkat tangannya, “Ya Allah, kasihilah aku dan Muhammad. Jangan kasihi seorangpun bersama kami.” Dengan tersenyum ditegurnya Badui tadi agar jangan mempersempit rahmat Allah.

Ia kerap bercengkerama dengan para sahabatnya, bergaul dekat, bermain dengan anak-anak, Bahkan memangku anak-anak mereka di pangkuannya. Ia terima undangan mereka: yang merdeka, budak lelaki atau budak perempuan, serta kaum miskin. Ia jenguk rakyat yang sakit jauh di hujung Madinah. Ia terima permohonan maaf orang.

Ia selalu lebih dulu memulai salam dan menjabat tangan siapa yang menjumpainya dan tak pernah menarik tangan itu sebelum sahabat tersebut yang menariknya. Tak pernah menjulurkan kaki di tengah sahabatnya hingga menyempitkan ruang bagi mereka. Ia muliakan siapa yang datang, kadang dengan membentangkan bajunya. Bahkan ia berikan alas duduknya dan dengan sungguh-sungguh ia panggil mereka dengan nama yang paling mereka sukai. Ia beri mereka kuniyah (sebutan bapak atau ibu si Fulan). Tak pernah ia memotong pembicaraan orang, kecuali sudah berlebihan. Apabila seseorang mendekatinya saat ia solat, ia cepat selesaikan solatnya dan segera bertanya apa yang diinginkan orang itu.

Pada suatu hari dalam perkemahan tempur ia berkata: “Seandainya ada seorang soleh mahu mengawalku malam ini”. Dengan kesadaran dan cinta, beberapa sahabat mengawal khemahnya. Di tengah malam terdengar suara gaduh yang mencurigakan. Para sahabat bergegas ke sumber suara. Ternyata ia telah ada disana mendahului mereka, tegak diatas kuda tanpa pelana, “Tenang, hanya angin gurun,” hiburnya. Nyatalah bahwa keinginan ada pengawal itu bukan karena ketakutan atau pemanjaan diri, tetapi pendidikan disiplin dan kesetiaan.

Ummul Mukminin Aisyah RA berkata: “Rasulullah SAW wafat tanpa meninggalkan makanan apapun yang bisa dimakan makhluk hidup, selain setengan ikat gandum di penyimpananku. Saat ruhnya dijemput, baju besinya masih digadaikan kepada seorang Yahudi untuk harga 30 gantang gandum.”

Sungguh ia berangkat haji dengan kenderaan yang sangat sederhana dan pakaian tak lebih harganya dari 4 dirham, seraya berkata, “Ya Allah, jadikanlah ini haji yang tak mengandung riya dan sum’ah.” Pada kemenangan besar saat Makkah ditaklukkan, dengan sejumlah besar pasukan muslimin, ia menundukkan kepala, nyaris menyentuh punggung untanya sambil selalu mengulang-ulang tasbih, tahmid dan istighfar. Ia tidak mabuk kemenangan.

Betapapun sulitnya mencari batas bentangan samudera kemuliaan ini, namun beberapa kalimat ini membuat kita pantas menyesal tidak mencintainya atau tak menggerakkan bibir mengucap shalawat atasnya: “Semua nabi mendapatkan hak untuk mengangkat doa yang takkan ditolak dan aku menyimpannya untuk umatku kelak di padang mahsyar nanti.”

Ketika masyarakat Thaif menolak dan menghinakannya, malaikat penjaga bukit menawarkan untuk menghimpit mereka dengan bukit. Ia menolak, “Kalau tidak mereka, aku berharap keturunan di sulbi mereka kelak akan menerima dakwah ini, mengabdi kepada Allah sahaja dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun.”

Mungkin dua kata kunci ini menjadi gambaran kebesaran jiwanya.

Pertama, Allah: sumber kekuatan yang Maha dahsyat, kepada-Nya ia begitu refleks menumpahkan semua keluhannya. Ini membuatnya amat tabah menerima segala risiko perjuangan; kerabat yang menjauh, sahabat yang membenci, dan khalayak yang mengusirnya dari negeri tercinta.

Kedua, Ummati: hamparan akal, nafsu dan perilaku yang menentang untuk dibongkar, dipasang, diperbaiki, ditingkatkan dan diukirnya.

Ya, Ummati, tak cukupkah semua keutamaan ini menggetarkan hatimu dengan cinta, menggerakkan tubuhmu dengan sunnah dan uswah serta mulutmu dengan ucapan sholawat? Allah tidak mencukupkan pernyataan-Nya bahwa Ia dan para malaikan bershalawat atasnya (QS.Al Ahzab: 56), justeru Ia nyatakan dengan begitu “vulgar” perintah tersebut, “Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah atasnya dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya dengan sebenar-benar salam.”

Allahumma shalli ‘alaihi wa’ala aalih!

(Dikutip dari Buku Warisan Sang Murabbi, Pilar-pilar Asasi, dengan adaptasi bahasa)

Comments

Popular posts from this blog

Nasihat Adik beradik

Wahai Sahabatku Yang Kecewa

Allah Memberikan Apa Yang Kita Perlu