Pesan Buat Da'i
Ramai orang yang berbicara saban hari ingin merubah kerosakan dalam masyarakat, namun mereka menghabiskan masa untuk melakukan kerja-kerja untuk diri sendiri lebih banyak daripada berfikir tentang merubah keadaan masyarakat, dan sebenarnya tidak berminat untuk terus bekerja keras untuk umat. Mereka punya potensi yang diketahui namun tak ingin digali, mereka punya ilmu yang tak ingin difahami dan direalisasikan dalam hidup sebagai seorang Da’i. mereka itu mungkin kita sendiri, yang tak pernah cuba mengerti hakikat ini.
Seorang Da’i itu hebat dan perwatakannya pelbagai. Seketika engkau melihat dia berpakaian kemas siap dengan tali leher bercakap dengan penuh professional di hadapan orang-orang kenamaan. Ketika yang lain engkau melihat dia bersusah-susah menolong menolak kereta orang yang kehabisan minyak. Seketika yang lain engkau melihat dia berada di surau atau masjid menjadi Imam dengan bacaan yang sungguh menyentuh jiwa. Seketika engkau melihat dia bergaul dengan pemuda-pemuda menyuntik mereka dengan semangat keIslaman dari dalam jiwanya. Dan di rumah dia menjadi Isteri, suami atau anak terbaik yang menyumbang kepada kesejahteraan keluarga. Jika kita mengimbau sejarah, begitulah perwatakan yang tergambar pada Hasan Al-Banna, mujaddid Umat ini. Seorang ahli politik melihatnya sebagai pakar politik, seorang pakar psikologi kagum dengan pengamatannya tentang jiwa manusia, seorang pakar tasauf akan terpegun melihat kekhusyukannya dalam Ibadah di malam hari.
Seorang da’i berjalan sehari-hari berfikir bagaimana menambahbaik keadaan Umat yang makin parah, bukan menambah derita pada luka yang tidak terubat. Dia mengajak kepada Allah bukan kepada dirinya, meletakkan pergantungan pada Allah bukan pada kehebatan dirinya. Tatkala dia bersedih, dia mencari Allah sebagai tempat mengadu setiap masalah dan kesesakan jiwa yang dialami, larut dalam ketenangan jiwa di malam hari. Lalu siangnya dia bangun bersemangat kembali mencari segenap ruang yang dapat ia terobos untuk menyebarkan risalah Ilahi dan mengupayakan seluruh potensi demi memperbaik keadaan Umat.
Saat orang sibuk berbicara soal kehancuran, seorang da’i berusaha mencari jalan pembinaan. Saat masyarakat memberikan keluhan dan menyatakan kekecewaan, seorang da’i tampil memberi harapan dan membuka ruang berfikir untuk minda dan menyucikan jiwa-jiwa orang-orang yang disentuhnya. Saat orang banyak berbangga dengan sejarah masa silam dan merasa hebat dengan kejayaan yang pernah kita alami, lalu merasa selesa dan tak ingin bekerja lagi, seorang da’i mengorbankan masanya, hartanya dan dirinya untuk menyelami kehancuran masa kini dan membina masa depan yang dinanti.
Da’i merupakan career yang tidak ada limitation pada sesiapa juga. Namun, sebelum Allah meletakkan label kepada kita sebagai da’i, Jundullah dan ansarullah, kita harus benar-benar memahami bahawa tugas seorang da’i bukan tugas part time, dan bukan untuk orang-orang yang sekadar ingin mengambilnya sebagai kerja sambilan. Di sana ada perubahan yang menuntut pengorbanan, dan di sana ada tuntutan yang menuntut kesabaran.
Adakah kita seorang da’i?
Seorang Da’i itu hebat dan perwatakannya pelbagai. Seketika engkau melihat dia berpakaian kemas siap dengan tali leher bercakap dengan penuh professional di hadapan orang-orang kenamaan. Ketika yang lain engkau melihat dia bersusah-susah menolong menolak kereta orang yang kehabisan minyak. Seketika yang lain engkau melihat dia berada di surau atau masjid menjadi Imam dengan bacaan yang sungguh menyentuh jiwa. Seketika engkau melihat dia bergaul dengan pemuda-pemuda menyuntik mereka dengan semangat keIslaman dari dalam jiwanya. Dan di rumah dia menjadi Isteri, suami atau anak terbaik yang menyumbang kepada kesejahteraan keluarga. Jika kita mengimbau sejarah, begitulah perwatakan yang tergambar pada Hasan Al-Banna, mujaddid Umat ini. Seorang ahli politik melihatnya sebagai pakar politik, seorang pakar psikologi kagum dengan pengamatannya tentang jiwa manusia, seorang pakar tasauf akan terpegun melihat kekhusyukannya dalam Ibadah di malam hari.
Seorang da’i berjalan sehari-hari berfikir bagaimana menambahbaik keadaan Umat yang makin parah, bukan menambah derita pada luka yang tidak terubat. Dia mengajak kepada Allah bukan kepada dirinya, meletakkan pergantungan pada Allah bukan pada kehebatan dirinya. Tatkala dia bersedih, dia mencari Allah sebagai tempat mengadu setiap masalah dan kesesakan jiwa yang dialami, larut dalam ketenangan jiwa di malam hari. Lalu siangnya dia bangun bersemangat kembali mencari segenap ruang yang dapat ia terobos untuk menyebarkan risalah Ilahi dan mengupayakan seluruh potensi demi memperbaik keadaan Umat.
Saat orang sibuk berbicara soal kehancuran, seorang da’i berusaha mencari jalan pembinaan. Saat masyarakat memberikan keluhan dan menyatakan kekecewaan, seorang da’i tampil memberi harapan dan membuka ruang berfikir untuk minda dan menyucikan jiwa-jiwa orang-orang yang disentuhnya. Saat orang banyak berbangga dengan sejarah masa silam dan merasa hebat dengan kejayaan yang pernah kita alami, lalu merasa selesa dan tak ingin bekerja lagi, seorang da’i mengorbankan masanya, hartanya dan dirinya untuk menyelami kehancuran masa kini dan membina masa depan yang dinanti.
Da’i merupakan career yang tidak ada limitation pada sesiapa juga. Namun, sebelum Allah meletakkan label kepada kita sebagai da’i, Jundullah dan ansarullah, kita harus benar-benar memahami bahawa tugas seorang da’i bukan tugas part time, dan bukan untuk orang-orang yang sekadar ingin mengambilnya sebagai kerja sambilan. Di sana ada perubahan yang menuntut pengorbanan, dan di sana ada tuntutan yang menuntut kesabaran.
Adakah kita seorang da’i?
Comments
Post a Comment
Apa pandangan anda? Kongsikan bersama pembaca yang lain.